“الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ”
Artinya: “Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang”.
Ayat Ketiga:
Tafsir kalimat mulia ini telah dipaparkan di pembahasan tafsir basmalah, sehingga tidak perlu untuk diulang kembali. Hanya saja penulis merasa perlu untuk membawakan suatu faidah indah berkenaan dengan pengulangan kalimat ini di ayat ketiga padahal telah disebutkan sebelumnya dalam ayat pertama.
Imam al-Qurthuby menjelaskan, setelah di ayat kedua Allah ta’ala mensifati diri-Nya sebagai Rabbul ‘alamin, dan ini menimbulkan dalam jiwa para hamba-Nya rasa takut lantaran keperkasaan-Nya, di ayat ketiga Allah ta’ala mensifati diri-Nya sebagai Dzat Yang Maha pengasih lagi penyayang; agar tumbuh dalam diri para hamba-Nya harapan akan kasih sayang-Nya. Penggabungan antara rasa takut dan rasa harap dalam hati sangat membantu seorang insan untuk rajin menjalankan ketaatan kepada Allah ta’ala.[1] Sebaliknya ketimpangan dalam salah satunya akan menjerumuskan seorang hamba dalam makar atau keputusasaan. [2]
Konsep ini banyak dipakai dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman,
“نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ . وَ أَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الأَلِيمَ”.
Artinya: “Kabarkanlah pada para hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih”. (Q.s. Al-Hijr: 49-50).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“لَوْ يَعْلَمُ الْمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللَّهِ مِنْ الْعُقُوبَةِ مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ، وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا عِنْدَ اللَّهِ مِنْ الرَّحْمَةِ مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ”.
“Andaikan mukmin mengetahui azab yang disediakan Allah; niscaya tidak ada seorangpun yang berharap bisa mendapatkan surga-Nya. Dan seandainya orang kafir mengetahui kasih sayang yang ada pada Allah; niscaya tak ada seorangpun yang tidak berharap bisa meraih surga-Nya”. (H.r. Muslim dari Abu Hurairah).
عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى شَابٍّ وَهُوَ فِي الْمَوْتِ، فَقَالَ: “كَيْفَ تَجِدُكَ؟” قَالَ: “وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنِّي أَرْجُو اللَّهَ، وَإِنِّي أَخَافُ ذُنُوبِي” فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ”.
Anas bercerita: “Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk seorang pemuda yang sedang mendekati ajalnya, lalu beliau bertanya, “Bagaimana keadaanmu?”. Ia menjawab, “Demi Allah wahai Rasulullah, sesungguhnya aku berharap pada Allah dan takut akan dosa-dosaku”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Tidaklah dua perasaan ini terkumpul dalam hati seorang hamba dalam momen seperti ini; melainkan Allah akan memberi apa yang diharapkannya dan melindungi dari apa yang ia takuti”. (H.r. Tirmidzy dan sanadnya dinilai hasan oleh Syaikh al-Albany). [3]
Imam Ibn al-Qayyim menjelaskan, “Perjalanan hati seorang hamba menuju Allah ta’ala bagaikan seekor burung. Rasa cinta adalah kepalanya, sedangkan rasa takut dan rasa harap merupakan kedua sayapnya. Selama kepala dan dua sayap sehat; niscaya burung akan terbang dengan baik. Namun jika kepala dipotong; burung akan mati, dan jika dua sayap patah maka akan menjadi sasaran empuk para pemburu … Kondisi paling sempurna adalah keseimbangan antara rasa harap dan rasa takut diiringi dominasi rasa cinta. Rasa cinta adalah tunggangannya, rasa harap pendorongnya dan rasa takut sebagai sopirnya. Sedangkan yang akan mengantarkan pada tujuan adalah Allah jalla wa ‘ala berkat karunia dan kemurahan-Nya”.[4]
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.
Artikel www.tunasilmu.com